Fasilitas Keperawatan Jiwa Memprihatinkan
#Tarakan – Tragedi dibantainya tiga balita saat akan mengikuti kebaktian di gereja, Minggu pagi (4/11) di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, menyisahkan persoalan yang selama ini terkesan masih diabaikan.
Persoalan dimaksud kata Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Tarakan, Darwis Manurung SH M.Hum, mengenai penanganan orang gila. Diberitakan kemarin, pelaku pembantaian tiga balita hingga tewas dalam kondisi mengenai, hingga menyebabkan tiga anak dan dua orang lainnya terluka parah adalah Burhan Gultom (35). Pelaku diduga kuat menderita gangguan kejiwaan.
"Pemerintah daerah melalui bagian sosial dan Satpol PP harus lebih intens terhadap penanganan orang gila. Setahu saya di Tarakan sudah ada perdanya, inilah yang harus ditegakkan," kata Darwis.
Dijelaskan praktisi hukum ini, di beberapa kota orang gila justru dijadikan ajang bisnis untuk kepentingan segelintir orang. Padahal dampak yang ditimbulkan orang gila ini sangat besar.
"Orang gila tidak bisa dihukum karena dianggap tidak sempurna akalnya. Dan itu bisa menjadi alasan untuk meniadakan hukuman," jelasnya.
Dalam kitab undang undang hukum pidana (KUHP) ada dua alasan untuk tidak dikenakan hukuman, yaitu karena pemaaf dan karena kurang sempurna. "Ada di pasal 44 KUHP pidana," sebutnya.
Untuk itu, dia berpesan agar upapa pencegahan terhadap ulah orang gila tersebut dapat dilakukan sejak dini sebelum jatuh korban. "Pencegahan yang paling penting," kata Darwis lagi.
Menanggapi hal ini, Kepala Satpol PP Tarakan Dison SH mengaku bingung menyikapi persoalan terkait keberadaan penderita gangguan kejiwaan yang kerap mengganggu ketertiban umum.
Selama ini kata Dison, ketika mengamankan seseorang yang menderita kejiwaan, pihak Satpol PP langsung menyerahkan ke RSUD Tarakan untuk mendapat penanganan secara medis di ruang khusus pasien gangguan kejiwaan di Ruangan Teratai.
“Ketika Ruangan Teratai itu tidak bisa menangani, itu yang membuat kami bingung karena kembalinya pasti ke Satpol PP. Mau kami kemanakan lagi mereka. Mau tampung di sini (Kantor Satpol PP, Red.), mau ditaruh di mana, siapa yang mau mengurus mereka,” beber Dison, kemarin (5/11).
Persoalan lainnya kata Dison, tidak jarang penderita gangguan kejiwaan tersebut tidak memiliki keluarga atau tidak ada orang yang mengklaim bahwa orang tersebut adalah keluarganya. Padahal itu terkait dengan masalah identitas diri orang tersebut, sehingga ketika dibawa untuk mendapatkan perawatan secara medis di rumah sakit, akan mempermudah pengurusan penjaminan kesehatannya.
“Ini masalah juga terkait administrasi kependudukan, karena kalau mereka dirawat itu butuh biaya, sehingga kalau tidak ada identitasnya seperti apa kami mengurus jaminan kesehatannya,” kata Dison lagi.
Terpisah, Kepala Ruangan Teratai RSUD Tarakan, Sardi Muhammad kepada Radar Tarakanmenegaskan, manajemen rumah sakit tempatnya bekerja tidak pernah membenarkan adanya penolakan pasien yang masuk. Namun Sardi tidak menampik, kondisi ruangannya sudah sangat overload (melebih daya tampung pasien).
“Mengenai masalah ini, saya rasa semua pihak yang terkait perlu melakukan pertemuan, baik dari pihak rumah sakit, dinas kesehatan, dinas sosial, pemerintah kota, Satpol PP dan pemerintah daerah lain di luar Tarakan yang sering mengirim pasien gangguan jiwa ke sini, untuk membicarakan solusi tentang masalah ini,” saran Sardi Muhammad.
Diakui Sardi, kondisi Ruangan Teratai saat ini sudah cukup memprihatinkan, yakni selain fasilitas yang tidak sesuai dengan standar keperawatan kejiwaan, ruangan yang relatif sempit dengan pasien yang banyak menjadi persoalan mendasar. Kapasitas ruangan yang seharusnya tidak lebih dari 7 orang, saat ini terisi 39 pasien penderita gangguan kejiwaan. Tempat tidur yang tersedia hanya 7 unit.
“Itu pun satu di antaranya adalah bed fiksasi atau tempat mengikat pasien yang agresif. Jadi yang tersisa itu hanya 6 bed saja, sehingga pasien di sini tidurnya di lantai, di lorong-lorong, dan di tempat lainnya yang mereka rasa nyaman untuk tidur,” ungkap Sardi.
Diberitakan kemarin, Yohana Nikita br Panggabean (3), Aprilia Kristina br Pasaribu (4,5), dan Coki Nainggolan (3), tewas di tempat dengan kondisi mengenaskan. Ketiga balita itu mengalami luka di kepala dan tangan karena sabetan parang oleh Burhan Gultom (35).
Selain itu, pelaku juga melukai tiga anak sekolah minggu lainnya di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Ressort Maranatha Simanosor, Desa Simanosor, Kecamatan Sibabangun, Tapanuli Tengah. Di antaranya Abel Hutabarat (9), Ferdinan Sitompul (10), dan Nandar Simanjuntak (5). Ketiganya juga mengalami luka parah di bagian kepala.
Dua warga setempat, Dapot Pasaribu (35) dan Samuel Pasaribu (16) yang merupakan ayah dan anak, juga ikut jadi sasaran amuk pelaku saat akan dilumpuhkan massa. Dapot mengalami luka tombak, dan Samuel mengalami luka bacok di kepalanya. Pelaku akhirnya meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit, setelah sempat dihakimi massa.(yan)
Sumber Info (Kecuali Gambar) : Radartarakan.co.id - Selasa, 6 November 2012
BERBAGI INFO :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tentang artikel diatas silahkan komentar anda yang bersifat positif dan membangun demi KOTA TARAKAN TERCINTA
SEKARANG KOMENTAR ANDA KAMI TUNGGU :