Karena Bertentangan dengan UUD 1945
#Tarakan - Setidaknya ada dua pasal dalam undang-undang pembentukan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) yang memiliki celah untuk digugat (judicial review). Sebab menurut pengamat hukum dari Universitas Borneo (UB) Tarakan, Yahya Ahmad Zein SH MH, dua pasal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Tapi yang paling urgen itu pasal 10 ayat 1,” beber Yahya kepada Radar Tarakan, kemarin (31/10).
Pasal dalam bab IV tentang Pemerintahan Daerah itu menyebutkan bahwa untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Kaltara, dipilih dan disahkan gubernur dan/atau wakil gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan paling cepat dua tahun sejak diresmikan Provinsi Kaltara.
“Karena ada kalimat paling cepat dua tahun, maka bisa saja Provinsi Kaltara baru memiliki pemerintah daerah definitif tiga tahun, empat tahun atau bahkan sampai lima tahun mendatang,” terangnya.
Padahal kata Yahya, dalam UUD 1945 telah mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah, termasuk provinsi. Dalam UUD 1945 yang memiliki tingkatan lebih tinggi dibanding undang-undang menyebutkan pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
“Menurut asas otonomi daerah, seharusnya Provinsi Kaltara diberikan kesempatan untuk memiliki pemerintahan yang definitif dan demokratis,” kata Yahya lagi.
Kesempatan itu menurut pria yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta itu sebagai jawaban atas instrumen undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara, yaitu menuju ke kesejahteraan masyarakat di perbatasan dalam cakupan wilayah Kaltara.
“Kalau tanpa pemerintahan definitif, bagaimana mungkin dapat segera mewujudkan itu. Malah semakin lama mencapai sasaran yang diharapkan dari instrumen lahirnya undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara itu,” kata dosen Fakultas Hukum UB Tarakan itu.
Masih kata Yahya, kewenangan penjabat gubernur yang akan ditunjuk dan dilantik Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden paling lambat 9 bulan sejak undang-undang pembentukan Kaltara diundangkan, sangat terbatas.
“Penjabat gubernur hanya mempersiapkan pemerintahan yang definitif,” tegasnya.
Pasal lainnya yang memiliki celah digugat adalah pasal 13 yang menyebutkan DPRD Provinsi Kaltara dibentuk dari hasil Pemilu 2014. Yahya menganggap, jika ada pihak yang menggugat pasal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hal yang wajar.
“Mengajukan judicial review merupakan hak konstitusional setiap orang yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya,” kata Yahya lagi.
Diakuinya, pasal 13 dalam undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara dimungkinkan dinilai menghilangkan hak konstitusi sejumlah orang. Sebab, ke-26 orang dari 35 kursi DPRD Kaltara (minus 9 orang karena sekarang masih menjadi anggota DPRD Kaltim) memiliki kesempatan menjadi anggota DPRD Kaltara, mengacu UU 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Bahkan berdasarkan regulasi yang telah dikeluarkan KPU (Peraturan KPU Nomor 61 Tahun 2009, Red.) juga memungkinkan,” kata alumnus Universitas Lambungmangkurat Banjarmasin itu.
Celah lain yang membuat pasal 13 bisa digugat kata Yahya lagi, karena bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 lainnya yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Dimana letak diskriminatif? Yahya membandingkan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat. “Walau undang-undang itu dibentuk tahun 2004, tapi DPRD provinsinya dapat dibentuk tahun 2004 juga. Nah, kalau pembentukan Kaltara dianggap terlalu mepet dengan Pemilu 2014, undang-undang pembentukan Sulawesi Barat malah bersamaan dengan Pemilu 2004. Bukan mepet lagi,” terangnya.
Namun Yahya mengingatkan, agar gugatan terhadap undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara jangan dilakukan buru-buru. “Kalau sekarang mengajukan judicial review atau gugatan itu masih terlalu prematur, karena undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara masih berupa RUU (rancangan undang-undang) walaupun sudah disahkan lewat paripurna DPR (25 Oktober), karena belum dinomori dan belum dimasukkan dalam Lembaran Negara,” jelas Yahya.
Diberitakan kemarin (31/10), gugatan terhadap undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara mengemuka.
“Kita menyesalkan undang-undang Kaltara mengandung tiga hal yang kurang pas secara substansi,” kata Asnawi Arbain M.Hum, politisi asal Sembakung kepada Radar Tarakan, Selasa (30/10).
Tiga hal dimaksud beber Asnawi, pasca terbentuknya Provinsi Kaltara, tidak dapat segera dilakukannya pembentukan DPRD dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi hingga penyelenggaraan pemilihan gubernur.
“Konsep yang ada sekarang, istilahnya Kaltara menjadi provinsi persiapan. Padahal, judul undang-undangnya sangat jelas, tentang pembentukan Provinsi Kaltara, bukan provinsi persiapan Kaltara,” ungkapnya.
Menurut Asnawi, ketentuan yang diatur dalam undang-undang Kaltara memang sejalan dengan harapan pemerintah dalam hal pembentukan daerah otonom baru (DOB) melalui desain besar penataan daerah (Desartada).
“Tapi perlu diingat, Desartada itu termasuk bagian dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sekarang masih digodok antara pemerintah dan DPR, belum disahkan karena ada seribu DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang belum diselesaikan,” kata Asnawi lagi.
Dengan demikian, lanjut dia, pembentukan Kaltara seyogianya masih mengacu pada UU 32/2004 yang belum direvisi. Pasal 13 dalam undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara yang menyebutkan DPRD Kaltara dibentuk melalui hasil Pemilu 2014, salah satu pasal yang disoalnya.
Selain karena Asnawi Arbain dan 25 orang lain “dirugikan” karena peluang menjadi anggota DPRD Kaltara tertutup, pasal ini dianggap rancu. “Bagaimana pemerintahan nanti bisa berjalan efektif kalau DPRD provinsinya tidak bisa dibentuk? Masak APBD hanya ditetapkan melalui peraturan gubernur yang seyogianya ditetapkan melalui peraturan daerah? Selama tiga tahun berturut-turut lagi? Bukankah ini sangat riskan?” kata Asnawi balik bertanya.
Diakui Asnawi, mengacu Peraturan KPU Nomor 61 Tahun 2009 yang merupakan pedoman teknis penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang dibentuk setelah Pemilu 2009, dia termasuk berpeluang menjadi anggota DPRD Kaltara.
“Dari PAN (Partai Amanat Nasional) ada tiga orang. Yaitu Rakhmat Majid Gani yang sekarang menjadi anggota DPRD Kaltim, saya, dan Zulkifli Alkaf,” sebut Asnawi yang meraih 2.629 suara pada Pemilu 2009 untuk pemilihan anggota DPRD Kaltim dari daerah pemilihan (Dapil) V mencakup wilayah Kaltara.
Tapi tegas Asnawi, yang dipersoalkannya bukan hanya pembentukan DPRD Kaltara baru bisa dilakukan berdasarkan hasil Pemilu 2014 saja. “Makanya, seluruh elemen masyarakat di Kaltara, tidak hanya tokoh-tokoh politik saja, masih menggodok rencana mengajukan gugatan atau judicial review ke MK,” bebernya lagi.
Kapan gugatan itu akan diajukan? Asnawi belum menyebutkan waktu. “Sekarang lagi kami godok. Kami juga masih menunggu undang-undang itu (undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara, Red.) dinomori oleh Sekretariat Negara,” jawabnya.
Yang jelas kata Asnawi lagi, rencana mengajukan gugatan ke MK terus dimatangkan. Sebab dia menilai ada kerancuan lainnya dalam undang-undang pembentukan Kaltara, yaitu mekanisme penetapan keanggotaan DPRD Kaltara yang dilakukan KPU Kaltim. Menurut Asnawi, jika pembentukan anggota DPRD Kaltara mengacu pemilihan anggota legislatif di tingkat provinsi dari Dapil V, dapat membingungkan wakil rakyat melakukan pembinaan Dapil dan politik masyarakat. “Resesnya nanti bagaimana? Cakupannya luas, sehingga menyulitkan anggota DPRD Kaltara melakukan pembinaan Dapil,” terangnya.
Lebih mengherankan lagi jika masyarakat Kaltara masih memilih Gubernur Kaltim pada pemilihan yang dijadwalkan 10 September 2013. “Apa kepentingan masyarakat Kaltara memilih Gubernur Kaltim,” kata Asnawi menambahkan.
Pihak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mempersilakan jika ada pihak-pihak yang akan mengajukan judicial review atau gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap undang-undang pembentukan Provinsi Kaltara. “Mereka mau menggugat, silakan saja,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Reydonnyzar Moenek dihubungi Radar Tarakan, Selasa malam (30/10).(ris)
Sumber Info (Kecuali Gambar) : Radartarakan.co.id - Kamis, 1 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tentang artikel diatas silahkan komentar anda yang bersifat positif dan membangun demi KOTA TARAKAN TERCINTA
SEKARANG KOMENTAR ANDA KAMI TUNGGU :